Pages

Jumat, 29 Agustus 2014

Perikatan Dunia dan Akhirat


Adakah ikatan sekuat pernikahan? Tali temalinya bersimpul pada relung-relung hati. Meskipun seutas, namun kuat hingga tak lepas.
Adakah ikatan sekuat pernikahan? Atas dua insan yang sebelumnya saling tak mengenal? Bukankah kita hanya bertemu dan lantas dipersatukan? Oleh Nya, yang berkuasa atas segala.
Cerita lama tentu sudah berlalu. Aku bukanlah sempurna. Karena cacat dalam sikap dan kata adalah niscaya. Namun, bukankah kita saling menyampul aib yang menganga? Iya! Yang terus terbuka dan menganga. Lantas jika bukan suami dan istri yang menutupnya, siapa pula?
Tulung rusuk ini akan selalu bengkok, begitu kata kaum alim ulama. Kaum berilmu akhirat dan dunia. Bengkok bukanlah untuk dibiarkan. Tapi untuk diluruskan perlahan.
Ada sebuah mawar yang kini tak harum lagi. Warnanya merah, namun tak secerah tempo hari. Apakah setiap kita akan langsung pergi berlari? Jika hanya luka sedikit diujung jari, karena tersengat mawar berduri. Aduhai! Dia memang tak persis seperti dulu lagi. Kasihnya kini terbagi, bersama seorang bayi. Wewangian syurga dunia yang nyata dibumi. Pewaris harta, sifat, fisik, dan intelengensi. Bahkan, pelita setelah kau mati.
Ada seorang gadis dan seorang bujang yang hingga kini masih melajang. Mereka jumlahnya banyak, mereka tak sendirian. Ingin mengakhiri penantian yang berkepanjangan. Namun, belum menemukan apa yang dinantikan.

Minggu, 24 Februari 2013

Selasa, 25 Desember 2012

Pemimpin Koruptor dan Takdir

Aku berenang dalam sebuah cawan besar, bernama hidup. Hanyut dalam arus takdir. Menyusuri anak sungai yang ku pilih. Hari itu ombak besar. Gelombangnya menghempas orang-orang yang tak bersiap sedia. Teknologi, gaya hidup, dan ideologi mengepung. Banyak orang yang bingung. Ada pula yang teguh, namun mereka sedikit.
Gambar: Peta Indeks Persepsi Korupsi Dunia

Jika cinta memang tak ada di hati para pemimpin, maka keadilan apa yang kau harapkan?
Jika rindu tak lagi hadir, maka apakah pertemuan masih diinginkan?

Seperti tembok-tembok di Gaza. Mereka runtuh, rubuh, dan tak berbentuk. Lantas mereka dibangun kembali. Untuk ke sekian kali. Ribuan kali. Mungkin, jutaan kali hingga dunia berhenti. Maka seperti itulah hati yang aku butuhkan. Maju untuk menyempurnakan yang sudah-sudah.

Ada pula buruh migran yang mencari nafkah di tanah seberang. Mereka tak berbaju. Telanjang tanpa pengetahuan. Rendah keterampilan. Hanya harap dan nyali besar. Banyak yang berhasil, tak sedikit yang sesat. Lumpuh dalam nyali tanpa perhitungan. Mereka nekad, bukan berani. Bila mati, mereka tak syahid, hanya konyol.

Banyak kampung-kampung jompo yang ditinggal anak muda. Mereka ke kota. Dari Sunda Kelapa, hingga Jayakarta. Dari Batavia hingga Daerah Khusus Ibukota. Mereka adalah mahluk dengan gen agraria. Kini beralih menjadi pekerja dan pengusaha. Banyak yang tumbang, kini jadi peminta-minta.

Aku lelah. Dunia berkejar-kejar dengan waktu dan kenaikan harga saham. Subsidi untuk para pengusaha dan penguasa. Buruh hanyalah faktor produksi semata. Mereka tak lebih dari sebuah data dari statistika.

Jika adzan hanya suara yang bersenandung. Bila lonceng gereja hanya mampu berirama. Berarti kita meremehkan Tuhan Yang Esa. Maka tunggu dan nikmatilah derita yang tak berkesudahan, seperti sinetron kejar tayang.

Kita sudah lama berjalan. Kau ada di sampingku. Namun, jika jiwa tak saling sapa, maka apakah kita masih bersama?

Hari ini kita mencaci maki para penguasa. Esok juga. Bagaimana sebuah negeri yang bertumpuk rakyat berdosa, layak dihadiahi Tuhan seorang pemimpin yang adil bersahaja?
Setiap masa ada pemimpinnya. Setiap pemimpin ada masanya. Kita tak berhak mengharapkan sekumpulan kerbau memiliki pemimpin seekor kuda. Sebagaimana kampung pelacur, yang suka melacur, dan akan terus melacur, namun tetap memaksakan pak lurahnya sesuci imam di Masjidil Haram.

Kau ingat bagaimana sendal sering hilang, saat kita pulang mengaji di surau? Belum lagi raskin – beras  miskin, yang dimakan oleh si kaya, lewat tangan pejabat rendah. Rakyat kita memang masih suka maling. Suka mencuri. Lantas, apakah kita masih pantas berharap seorang pemimpin yang bukan koruptor?

Pejabat dan penjahat. Seperti seekor bunglon pada batang pohon. Samar dan sumir. Maya. Tidak jelas. Serupa. Hingga sulit membedakan antara mereka.

Ini bukan zaman Hang Tuah dan Hang Jebat. Orang berbudi dalam kata, bijak dalam laku. Sahabat di ring satu bisa jadi menjadi orang pertama yang menjegal. Mereka bertepuk tangan saat kau berhasil, dan sama keras suara tepukannya saat kau gagal.
Sultan adil dipuja. Sultan tak adil dicerca. Bila Romawi dan Persia bisa celaka. Mengapa tidak dengan Nusantara? Jika akhlak telah bercerai dari sikap. Maka Malaka pun bisa buram, seperti mendung tak berkesudahan. Majapahit runtuh bukan semata karena serangan dari luar, tapi karena Raja-nya tak lagi sehebat Raden Wijaya, dan Hayam Wuruk tak punya orang dekat sehebat Gajah Mada. Cut Nyak Dien dilumpuhkan tidak karena kafir Belanda hebat, tapi karena bisik yang didapat kolonial dari kerabat. Perkokoh tiang, balok, dan kolom. Karena hujan badai tak bisa kita tahan, ia bukan urusan kita. Perbaiki yang didalam, karena hantaman dari luar bukan kuasa kita.

Ku seruput kopi dalam cangkir impor murahan buatan Cina. Karena pengerajin kita tak kuat berlari maraton. Menjaga daya tahan, serangan produk luar negeri. Barang-barang itu seperti tak kelelahan. Mereka berlayar jauh dari daratan Asia Timur, jauh dan berongkos mahal. Anehnya, mereka masih bisa dijual murah di Nusantara. Padahal, jarak Tiongkok, kurang seperti Sabang Papua. Tapi mereka tetap bisa kasih korting yang asoy bagi pembeli. Sungguh anomali.

Terkadang tidak perlu terlalu banyak berpikir sebelum bertindak. Kau tahu kenapa? Karena waktu terlalu singkat untuk berpikir apa yang belum terjadi. Rencana seperti perbuatan mubazir saja. Sabar sayang. Aku sadar lantas kau bergumam. “Itu hanya pendapat mu, orang gila! Majnun!” Tapi kelak kau akan setuju, saat kau liat rencana-rencana itu masuk birokrasi. Kala anggaran telah masuk dokumen. Maka kau banyak bertindak dari berpikir. Karena akal tak lagi jadi raja. Ia telah dikudeta oleh syahwat yang bersemayam di dada dan paha.
Ku pikir-pikir kembali kapan kira-kira bisa bersua. Canda tawa dan gelak tawa. Natural, asli tak reka-reka. Kini dunia kita pecah berkeping-keping, layaknya cermin terhempas di atas ubin. Runyam. Remuk hilang wujud.

Bukan “Aku” yang jadi binatang jalang. Tapi kita. Kita?!
Ya kita! Makanya wakilmu di parlemen juga berlaku seperti kita. Jalang! Kita jalang dan mereka juga.

Suka kritik, tapi tak tahan kritik. Berlaku sesuka hati, yang penting asyik!