Aku berenang dalam sebuah cawan besar, bernama hidup. Hanyut
dalam arus takdir. Menyusuri anak sungai yang ku pilih. Hari itu ombak besar.
Gelombangnya menghempas orang-orang yang tak bersiap sedia. Teknologi, gaya
hidup, dan ideologi mengepung. Banyak orang yang bingung. Ada pula yang teguh,
namun mereka sedikit.
|
Gambar: Peta Indeks Persepsi Korupsi Dunia |
Jika cinta memang tak ada di hati para pemimpin, maka
keadilan apa yang kau harapkan?
Jika rindu tak lagi hadir, maka apakah pertemuan masih
diinginkan?
Seperti tembok-tembok di Gaza. Mereka runtuh, rubuh, dan tak
berbentuk. Lantas mereka dibangun kembali. Untuk ke sekian kali. Ribuan kali.
Mungkin, jutaan kali hingga dunia berhenti. Maka seperti itulah hati yang aku
butuhkan. Maju untuk menyempurnakan yang sudah-sudah.
Ada pula buruh migran yang mencari nafkah di tanah seberang.
Mereka tak berbaju. Telanjang tanpa pengetahuan. Rendah keterampilan. Hanya
harap dan nyali besar. Banyak yang berhasil, tak sedikit yang sesat. Lumpuh
dalam nyali tanpa perhitungan. Mereka nekad, bukan berani. Bila mati, mereka
tak syahid, hanya konyol.
Banyak kampung-kampung jompo yang ditinggal anak muda.
Mereka ke kota. Dari Sunda Kelapa, hingga Jayakarta. Dari Batavia hingga Daerah
Khusus Ibukota. Mereka adalah mahluk dengan gen agraria. Kini beralih menjadi pekerja
dan pengusaha. Banyak yang tumbang, kini jadi peminta-minta.
Aku lelah. Dunia berkejar-kejar dengan waktu dan kenaikan
harga saham. Subsidi untuk para pengusaha dan penguasa. Buruh hanyalah faktor
produksi semata. Mereka tak lebih dari sebuah data dari statistika.
Jika adzan hanya suara yang bersenandung. Bila lonceng
gereja hanya mampu berirama. Berarti kita meremehkan Tuhan Yang Esa. Maka tunggu
dan nikmatilah derita yang tak berkesudahan, seperti sinetron kejar tayang.
Kita sudah lama berjalan. Kau ada di sampingku. Namun, jika
jiwa tak saling sapa, maka apakah kita masih bersama?
Hari ini kita mencaci maki para penguasa. Esok juga.
Bagaimana sebuah negeri yang bertumpuk rakyat berdosa, layak dihadiahi Tuhan
seorang pemimpin yang adil bersahaja?
Setiap masa ada pemimpinnya. Setiap pemimpin ada masanya.
Kita tak berhak mengharapkan sekumpulan kerbau memiliki pemimpin seekor kuda.
Sebagaimana kampung pelacur, yang suka melacur, dan akan terus melacur, namun
tetap memaksakan pak lurahnya sesuci imam di Masjidil Haram.
Kau ingat bagaimana sendal sering hilang, saat kita pulang
mengaji di surau? Belum lagi raskin – beras
miskin, yang dimakan oleh si kaya, lewat tangan pejabat rendah. Rakyat
kita memang masih suka maling. Suka mencuri. Lantas, apakah kita masih pantas
berharap seorang pemimpin yang bukan koruptor?
Pejabat dan penjahat. Seperti seekor bunglon pada batang
pohon. Samar dan sumir. Maya. Tidak jelas. Serupa. Hingga sulit membedakan antara
mereka.
Ini bukan zaman Hang Tuah dan Hang Jebat. Orang berbudi
dalam kata, bijak dalam laku. Sahabat di ring satu bisa jadi menjadi orang
pertama yang menjegal. Mereka bertepuk tangan saat kau berhasil, dan sama keras
suara tepukannya saat kau gagal.
Sultan adil dipuja. Sultan tak adil dicerca. Bila Romawi dan
Persia bisa celaka. Mengapa tidak dengan Nusantara? Jika akhlak telah bercerai
dari sikap. Maka Malaka pun bisa buram, seperti mendung tak berkesudahan.
Majapahit runtuh bukan semata karena serangan dari luar, tapi karena Raja-nya
tak lagi sehebat Raden Wijaya, dan Hayam Wuruk tak punya orang dekat sehebat
Gajah Mada. Cut Nyak Dien dilumpuhkan tidak karena kafir Belanda hebat, tapi
karena bisik yang didapat kolonial dari kerabat. Perkokoh tiang, balok, dan
kolom. Karena hujan badai tak bisa kita tahan, ia bukan urusan kita. Perbaiki
yang didalam, karena hantaman dari luar bukan kuasa kita.
Ku seruput kopi dalam cangkir impor murahan buatan Cina.
Karena pengerajin kita tak kuat berlari maraton. Menjaga daya tahan, serangan
produk luar negeri. Barang-barang itu seperti tak kelelahan. Mereka berlayar
jauh dari daratan Asia Timur, jauh dan berongkos mahal. Anehnya, mereka masih
bisa dijual murah di Nusantara. Padahal, jarak Tiongkok, kurang seperti Sabang
Papua. Tapi mereka tetap bisa kasih korting yang asoy bagi pembeli. Sungguh
anomali.
Terkadang tidak perlu terlalu banyak berpikir sebelum
bertindak. Kau tahu kenapa? Karena waktu terlalu singkat untuk berpikir apa
yang belum terjadi. Rencana seperti perbuatan mubazir saja. Sabar sayang. Aku
sadar lantas kau bergumam. “Itu hanya pendapat mu, orang gila! Majnun!” Tapi
kelak kau akan setuju, saat kau liat rencana-rencana itu masuk birokrasi. Kala
anggaran telah masuk dokumen. Maka kau banyak bertindak dari berpikir. Karena
akal tak lagi jadi raja. Ia telah dikudeta oleh syahwat yang bersemayam di dada
dan paha.
Ku pikir-pikir kembali kapan kira-kira bisa bersua. Canda
tawa dan gelak tawa. Natural, asli tak reka-reka. Kini dunia kita pecah berkeping-keping,
layaknya cermin terhempas di atas ubin. Runyam. Remuk hilang wujud.
Bukan “Aku” yang jadi binatang jalang. Tapi kita. Kita?!
Ya kita! Makanya wakilmu di parlemen juga berlaku seperti
kita. Jalang! Kita jalang dan mereka juga.
Suka kritik, tapi tak tahan kritik. Berlaku sesuka hati,
yang penting asyik!