buat: Sri Ajati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
1946
Chairil Anwar memang seorang pencinta wanita. Tak sedikit wanita yang ada di sekililing hidupnya. Orang-orang selalu mengira, apakah wanita yang ada di sekitar hidupnya betul-betul dicintainya? Atau hanya hasrat yang bergelora saat muda. Entahlah. Jika benar, hanya sekedar hasrat disaat muda, maka kita yakin hasrat muda itu akan dibawanya untuk selama-lamanya, karena disaat api cinta masa muda itu belum redum, hidupnya sendiri telah padam dijemput ajal.
Satu fakta yang ada, Sri Ajati adalah wanita yang tak pernah dia gapai. Chairil malah menikah dengan Hapsah. Lantas beranak. Kemudian bercerai. Orang-orang hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Kok bisa?. Sri Ajati sendiri pernah membuat pernyataan yang berisi keheranan sekaligus kesalutannya kepada Hapsah, yang mau menerima dan dinikahi Chairil. "Padahal kalau secara logic....logically...." Sri enggan melanjutkannya.
Tapi aku mengira, pasti Beliau ingin sekali menyampaikan bahwa Chairil sebagai lelaki yang romantis dan puitis memang dapat menjadi seorang pecinta sejati, lelaki yang sangat diimpikan para gadis. Namun, melihat hidupnya yang tidak teratur, tentu wanita 'se-Logis' Sri akan berusaha menjaga jarak. Maka tak heran kalau Sri melabuhkan hatinya kepada seorang Dokter. Dokter Kemiliteran.
Kini, Sri hanyalah sebuah cerita kasih tak sampai. Begitu pula dengan Chairil, merupakan lelaki yang akan dikenang oleh Sri. Mungkin rasa kedekatan dengan Chairil pula yang membuat Sri pernah meneteskan air mata, saat membaca Puisi 'Senja di Pelabuhan Kecil', saat di tahun 70-an beliau pernah diminta membaca puisi chairil yang khusus ditulis untuk dirinya.
Cinta memang harus memilih. Cinta mungkin tak seromantis dan sepuitis di cerita roman picisan.
Ternyata cinta tak buta, kawan.
Cinta itu memakai lensa.
Satu fakta yang ada, Sri Ajati adalah wanita yang tak pernah dia gapai. Chairil malah menikah dengan Hapsah. Lantas beranak. Kemudian bercerai. Orang-orang hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Kok bisa?. Sri Ajati sendiri pernah membuat pernyataan yang berisi keheranan sekaligus kesalutannya kepada Hapsah, yang mau menerima dan dinikahi Chairil. "Padahal kalau secara logic....logically...." Sri enggan melanjutkannya.
Tapi aku mengira, pasti Beliau ingin sekali menyampaikan bahwa Chairil sebagai lelaki yang romantis dan puitis memang dapat menjadi seorang pecinta sejati, lelaki yang sangat diimpikan para gadis. Namun, melihat hidupnya yang tidak teratur, tentu wanita 'se-Logis' Sri akan berusaha menjaga jarak. Maka tak heran kalau Sri melabuhkan hatinya kepada seorang Dokter. Dokter Kemiliteran.
Kini, Sri hanyalah sebuah cerita kasih tak sampai. Begitu pula dengan Chairil, merupakan lelaki yang akan dikenang oleh Sri. Mungkin rasa kedekatan dengan Chairil pula yang membuat Sri pernah meneteskan air mata, saat membaca Puisi 'Senja di Pelabuhan Kecil', saat di tahun 70-an beliau pernah diminta membaca puisi chairil yang khusus ditulis untuk dirinya.
Cinta memang harus memilih. Cinta mungkin tak seromantis dan sepuitis di cerita roman picisan.
Ternyata cinta tak buta, kawan.
Cinta itu memakai lensa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar