Afonso (kadang juga ditulis Alfonso) de Albuquerque. Karena tokoh inilah, yang membuat kawasan Nusantara waktu itu dikenal oleh orang Eropa dan dimulainya Kolonisasi berabad-abad oleh Portugis bersama bangsa Eropa lain, terutama Inggris dan Belanda.
Dari Sungai Tagus yang bermuara ke Samudra Atlantik itulah armada Portugis mengarungi Samudra Atlantik, yang mungkin memakan waktu sebulan hingga tiga bulan, melewati Tanjung Harapan Afrika, menuju Selat Malaka. Dari sini penjelajahan dilanjutkan ke Kepulauan Maluku untuk mencari rempah-rempah, komoditas yang setara emas kala itu.
”Pada  abad 16 saat petualangan itu dimulai biasanya para pelaut  negeri  Katolik itu diberkati oleh pastor dan raja sebelum berlayar  melalui  Sungai Tagus,” kata Teresa. Biara St Jeronimus atau Biara Dos  Jeronimos  dalam bahasa Portugis itu didirikan oleh Raja Manuel pada  tahun 1502  di tempat saat Vasco da Gama memulai petualangan ke timur.
Museum  Maritim atau orang Portugis menyebut Museu de Marinha itu  didirikan  oleh Raja Luis pada 22 Juli 1863 untuk menghormati sejarah  maritim  Portugis.
Selain patung di taman,  lukisan Afonso de Albuquerque juga menjadi  koleksi museum itu. Di  bawah lukisan itu tertulis, ”Gubernur India  1509-1515. Peletak dasar  Kerajaan Portugis di India yang berbasis di  Ormuz, Goa, dan Malaka.  Pionir kebijakan kekuatan laut sebagai kekuatan  sentral kerajaan”.  Berbagai barang perdagangan Portugis juga dipamerkan  di museum itu,  bahkan gundukan lada atau merica.
Ada  sejumlah motivasi mengapa Kerajaan Portugis memulai petualangan  ke  timur. Ahli sejarah dan arkeologi Islam Uka Tjandrasasmita dalam buku   Indonesia-Portugal: Five Hundred Years of Historical Relationship   (Cepesa, 2002), mengutip sejumlah ahli sejarah, menyebutkan tidak hanya   ada satu motivasi Kerajaan Portugis datang ke Asia. Ekspansi itu  mungkin  dapat diringkas dalam tiga kata bahasa Portugis, yakni feitoria, fortaleza, dan igreja. Arti harfiahnya adalah emas, kejayaan, dan gereja atau perdagangan, dominasi militer, dan penyebaran agama Katolik.
Menurut  Uka, Albuquerque, Gubernur Portugis Kedua dari Estado da  India,  Kerajaan Portugis di Asia, merupakan arsitek utama ekspansi  Portugis ke  Asia. Dari Goa, ia memimpin langsung ekspedisi ke Malaka dan  tiba di  sana awal Juli 1511 membawa 15 kapal besar dan kecil serta 600  tentara.  Ia dan pasukannya mengalahkan Malaka 10 Agustus 1511. Sejak itu   Portugis menguasai perdagangan rempah-rempah dari Asia ke Eropa.   Setelah menguasai Malaka, ekspedisi Portugis yang dipimpin Antonio de   Abreu mencapai Maluku, pusat rempah-rempah.
Periode Kejayaan Portugis di Nusantara
Periode  1511-1526, selama 15 tahun, Nusantara menjadi pelabuhan  maritim  penting bagi Kerajaan Portugis, yang secara reguler menjadi rute   maritim untuk menuju Pulau Sumatera, Jawa, Banda, dan Maluku.
Pada tahun 1511 Portugis mengalahkan Kerajaan Malaka. Pada tahun 1512 Portugis menjalin komunikasi dengan Kerajaan Sunda untuk menandatangani perjanjian dagang, terutama lada. Perjanjian dagang tersebut kemudian diwujudkan pada tanggal 21 Agustus 1522 dalam bentuk dokumen kontrak yang dibuat rangkap dua, satu salinan untuk raja Sunda dan satu lagi untuk raja Portugal. Pada hari yang sama dibangun sebuah prasasti yang disebut Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal di suatu tempat yang saat ini menjadi sudut Jalan Cengkeh dan Jalan Kali Besar Timur I, Jakarta Barat. Dengan perjanjian ini maka Portugis dibolehkan membangun gudang atau benteng di Sunda Kelapa.
Pada tahun 1511 Portugis mengalahkan Kerajaan Malaka. Pada tahun 1512 Portugis menjalin komunikasi dengan Kerajaan Sunda untuk menandatangani perjanjian dagang, terutama lada. Perjanjian dagang tersebut kemudian diwujudkan pada tanggal 21 Agustus 1522 dalam bentuk dokumen kontrak yang dibuat rangkap dua, satu salinan untuk raja Sunda dan satu lagi untuk raja Portugal. Pada hari yang sama dibangun sebuah prasasti yang disebut Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal di suatu tempat yang saat ini menjadi sudut Jalan Cengkeh dan Jalan Kali Besar Timur I, Jakarta Barat. Dengan perjanjian ini maka Portugis dibolehkan membangun gudang atau benteng di Sunda Kelapa.
Pada  tahun 1512 juga Afonso de Albuquerque mengirim Antonio Albreu  dan  Franscisco Serrao untuk memimpin armadanya mencari jalan ke tempat  asal  rempah-rempah di Maluku. Sepanjang perjalanan, mereka singgah di   Madura, Bali, dan Lombok. Dengan menggunakan nakhoda-nakhoda Jawa,   armada itu tiba di Kepulauan Banda, terus menuju Maluku Utara hingga   tiba di Ternate.
Kehadiran Portugis di perairan dan kepulauan Indonesia itu telah meninggalkan jejak-jejak sejarah yang sampai hari ini masih dipertahankan oleh komunitas lokal di Nusantara, khususnya flores, Solor dan Maluku, di Jakarta Kampong Tugu yang terletak di bagian Utara Jakarta, antara Kali Cakung, pantai Cilincing dan tanah Marunda.
Bangsa Eropa pertama yang menemukan Maluku adalah Portugis, pada tahun 1512. Pada waktu itu 2 armada Portugis, masing-masing dibawah pimpinan Anthony d'Abreu dan Fransisco Serau, mendarat di Kepulauan Banda dan Kepulauan Penyu. Setelah mereka menjalin persahabatan dengan penduduk dan raja-raja setempat - seperti dengan Kerajaan Ternate di pulau Ternate, Portugis diberi izin untuk mendirikan benteng di Pikaoli, begitupula Negeri Hitu lama, dan Mamala di Pulau Ambon.Namun hubungan dagang rempah-rempah ini tidak berlangsung lama, karena Portugis menerapkan sistem monopoli sekaligus melakukan penyebaran agama Kristen. Salah seorang misionaris terkenal adalah Francis Xavier. Tiba di Ambon 14 Pebruari 1546, kemudian melanjutkan perjalanan ke Ternate, tiba pada tahun 1547, dan tanpa kenal lelah melakukan kunjungan ke pulau-pulau di Kepulauan Maluku untuk melakukan penyebaran agama. Persahabatan Portugis dan Ternate berakhir pada tahun 1570. Peperangan dengan Sultan Babullah selama 5 tahun (1570-1575), membuat Portugis harus angkat kaki dari Ternate dan terusir ke Tidore dan Ambon.
Perlawanan rakyat Maluku terhadap Portugis, dimanfaatkan Belanda untuk menjejakkan kakinya di Maluku. Pada tahun 1605, Belanda berhasil memaksa Portugis untuk menyerahkan pertahanannya di Ambon kepada Steven van der Hagen dan di Tidore kepada Cornelisz Sebastiansz. Demikian pula benteng Inggris di Kambelo, Pulau Seram, dihancurkan oleh Belanda. Sejak saat itu Belanda berhasil menguasai sebagian besar wilayah Maluku. Kedudukan Belanda di Maluku semakin kuat dengan berdirinya VOC pada tahun 1602, dan sejak saat itu Belanda menjadi penguasa tunggal di Maluku. Di bawah kepemimpinan Jan Pieterszoon Coen, Kepala Operasional VOC, perdagangan cengkih di Maluku sepunuh di bawah kendali VOC selama hampir 350 tahun. Untuk keperluan ini VOC tidak segan-segan mengusir pesaingnya; Portugis, Spanyol, dan Inggris. Bahkan puluhan ribu orang Maluku menjadi korban kebrutalan VOC.
Kemudian mereka membangun benteng di Ternate tahun 1511, kemudian tahun 1512 membangun Benteng di Amurang Sulawesi Utara. Portugis kalah perang dengan Spanyol maka daerah Sulawesi utara diserahkan dalam kekuasaan Spanyol (1560 hingga 1660). Kerajaan Portugis kemudian dipersatukan dengan Kerajaan Spanyol. (Baca buku :Sejarah Kolonial Portugis di Indonesia, oleh David DS Lumoindong). Abad 17 datang armada dagang VOC (Belanda) yang kemudian berhasil mengusir Portugis dari Ternate, sehingga kemudian Portugis mundur dan menguasai Timor timur (sejak 1515).
Kolonialisme dan Imperialisme mulai merebak di Indonesia sekitar abad ke-15, yaitu diawali dengan pendaratan bangsa Portugis di Malaka dan bangsa Belanda yang dipimpin Cornellis de Houtman pada tahun 1596, untuk mencari sumber rempah-rempah dan berdagang.
Perlawanan Rakyat terhadap Portugis
Kedatangan bangsa Portugis ke Semenanjung Malaka dan ke Kepulauan Maluku merupakan perintah dari negaranya untuk berdagang.
Perlawanan Rakyat Malaka terhadap Portugis
Pada  tahun 1511, armada Portugis yang dipimpin oleh Albuquerque  menyerang  Kerajaan Malaka. Untuk menyerang colonial Portugis di Malaka  yang  terjadi pada tahun 1513 mengalami kegagalan karena kekuatan dan   persenjataan Portugis lebih kuat. Pada tahun 1527, armada Demak di bawah   pimpinan Fatahillah/Falatehan dapat menguasai Banten,Suda Kelapa, dan   Cirebon. Armada Portugis dapat dihancurkan oleh Fatahillah/Falatehan  dan  ia kemudian mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta yang  artinya  kemenangan besar, yang kemudian menjadi Jakarta.
Perlawanan rakyat Aceh terhadap Portugis
Mulai  tahun 1554 hingga tahun 1555, upaya Portugis tersebut gagal  karena  Portugis mendapat perlawanan keras dari rakyat Aceh. Pada saat  Sultan  Iskandar Muda berkuasa, Kerajaan Aceh pernah menyerang Portugis  di  Malaka pada tahun 1615 dan 1629.
Perlawanan Rakyat Maluku terhadap Portugis
Bangsa  Portugis pertama kali mendarat di Maluku pada tahun 1511.  Kedatangan  Portugis berikutnya pada tahun 1513. Akan tetapi, Ternate  merasa  dirugikan oleh Portugis karena keserakahannya dalam memperoleh   keuntungan melalui usaha monopoli perdagangan rempah-rempah.
Pada  tahun 1533, Sultan Ternate menyerukan kepada seluruh rakyat  Maluku  untuk mengusir Portugis di Maluku. Pada tahun 1570, rakyat  Ternate yang  dipimpin oleh Sultan Hairun dapat kembali melakukan  perlawanan  terhadap bangsa Portugis, namun dapat diperdaya oleh Portugis  hingga  akhirnya tewas terbunuh di dalam Benteng Duurstede. Selanjutnya   dipimpin oleh Sultan Baabullah pada tahun 1574. Portugis diusir yang   kemudian bermukim di Pulau Timor.
Kolonisasi Spanyol
Ferdinand Magelhaens   (kadang juga ditulis Ferdinan) Magelan. Karena tokoh inilah, yang   memimpin armada yang pertama kali mengelilingi dunia dan membuktikan   bahwa bumi bulat, saat itu itu dikenal oleh orang Eropa bumi datar. Dimulainya Kolonisasi berabad-abad oleh Spanyol bersama bangsa Eropa lain, terutama Portugis,Inggris dan Belanda.
Dari Spanyol ke Samudra Pasifik itulah armada Portugis mengarungi Samudra Pasifik, melewati Tanjung Harapan Afrika, menuju Selat Malaka. Dari sini penjelajahan dilanjutkan ke Kepulauan Maluku untuk mencari rempah-rempah, komoditas yang setara emas kala itu.
”Pada  abad 16 saat petualangan itu dimulai biasanya para pelaut  negeri  Katolik itu diberkati oleh pastor dan raja sebelum berlayar  melalui  samudera.
Pada tanggal 20 September 1519, San Antonio, Concepción, Victoria, dan Santiago—yang terbesar hingga yang terkecil—mengikuti kapal induk Magelhaens, Trinidad, kapal terbesar kedua, seraya mereka berlayar menuju Amerika Selatan. Pada tanggal 13 Desember, mereka mencapai Brasil, dan sambil menatap Pāo de Açúcar, atau Pegunungan Sugarloaf, yang mengesankan, mereka memasuki teluk Rio de Janeiro yang indah untuk perbaikan dan mengisi perbekalan. Kemudian mereka melanjutkan ke selatan ke tempat yang sekarang adalah Argentina, senantiasa mencari-cari el paso, jalur yang sulit ditemukan yang menuju ke samudera lain. Sementara itu, udara semakin dingin dan gunung es mulai tampak. Akhirnya, pada tanggal 31 Maret 1520, Magelhaens memutuskan untuk melewatkan musim salju di pelabuhan San Julián yang dingin.
Pelayaran tersebut kini telah memakan waktu enam kali lebih lama daripada pelayaran Columbus mengarungi Samudra Atlantik yang pertama kali—dan belum terlihat satu selat pun! Semangat juang mereka mulai sedingin cuaca di San Julián, dan pria-pria, termasuk beberapa kapten serta perwira, merasa putus asa dan ingin pulang saja. Tidaklah mengherankan bila terjadi pemberontakan. Namun, berkat tindakan yang cepat dan tegas di pihak Magelhaens, hal itu digagalkan dan dua pemimpin pemberontak tersebut tewas.
Kehadiran kapal asing di pelabuhan pastilah menarik perhatian penduduk lokal yang kuat—dan berbadan besar. Merasa seperti orang kerdil dibandingkan dengan raksasa-raksasa ini, para pengunjung tersebut menyebut daratan itu Patagonia—dari kata Spanyol yang berarti "kaki besar"—hingga hari ini. Mereka juga mengamati 'serigala laut sebesar anak lembu, serta angsa berwarna hitam dan putih yang berenang di bawah air, makan ikan, dan memiliki paruh seperti gagak'. Tentu saja tidak lain tidak bukan adalah anjing laut dan pinguin!
Daerah  lintang kutub cenderung mengalami badai yang ganas secara  tiba-tiba,  dan sebelum musim dingin berakhir, armada itu mengalami  korban  pertamnya—Santiago yang kecil. Namun, untunglah para awaknya  dapat  diselamatkan dari kapal yang karam itu. Setelah itu, keempat kapal  yang  masih bertahan, bagaikan ngengat kecil bersayap yang terpukul di   tengah arus laut yang membeku dan tak kunjung reda, berjuang sekuat   tenaga menuju ke selatan ke perairan yang semakin dingin—hingga tanggal   21 Oktober. Berlayar di bawah guyuran air hujan yang membeku, semua  mata  terpaku pada sebuah celah di sebelah barat. El paso? Ya! Akhirnya,   mereka berbalik dan memasuki selat yang belakangan dikenal sebagai  Selat  Magelhaens! Namun, bahkan momen kemenangan ini ternoda. San  Antonio  dengan sengaja menghilang di tengah jaringan rumit selat itu  dan kembali  ke Spanyol.
Ketiga  kapal yang masih bertahan, diimpit oleh teluk yang sempit di  antara  tebing-tebing berselimut salju, dengan gigih berlayar melewati  selat  yang berkelok-kelok itu. Merek mengamati begitu banyaknya api di   sebelah selatan, kemungkinan dari perkemahan orang Indian, jadi mereka   menyebut daratan itu Tierra del Fuego, “Tanah Api”.
Tiba di Pilipina Magelhaens mengajak para penduduk lokal dan pimpinan mereka untuk memeluk agama Katolik. Tetapi semangatnya juga menjadi bencana, dimana kemudian ia terlibat dalam pertikaian antarsuku. Hanya dengan dibantu kekuatan 60 pria, ia menyerang sekitar 1.500 penduduk pribumi, dengan keyakinan bahwa meskipun harus melawan senapan busur, senapan kuno, namun Tuhan akan menjamin kemenangannya. Akan tetapi yang terjadi adalah Sebaliknya, ia dan sejumlah bawahannya tewas. Magelhaens pada saat itu berusia sekitar 41 tahun. Pigafetta yang setia meratap, 'Mereka membunuh cerminan, penerang, penghibur, dan penuntun sejati kita'. Beberapa hari kemudian, sekitar 27 perwira yang hanya menyaksikan dari kapal mereka, dibunuh oleh para kepala suku yang sebelumnya bersahabat.
Dikarenakan  jumlah awak kapal yang tersisa hanya sedikit, sehingga tidak  mungkin  untuk berlayar menggunakan tiga kapal, mereka kemudian  menenggelamkan  Concepción dan berlayar dengan dua kapal yang masih  tersisa, Trinidad  dan Victoria ke tujuan terakhir mereka, yaitu  kepulauan Rempah. Setelah  ke 2 kapal tersebut diisi penuh dengan  rempah-rempah, kemudian kedua  kapal itu kembali berlayar secara  terpisah. Akan tetapi salah satu dari  ke 2 kapal tersebut,Trinidad  tertangkap oleh Portugis dan kemudian  awak kapalnya dipenjarakan.
Namun,  Victoria, di bawah komando mantan pemberontak Juan Sebastián  de  Elcano, luput. Sambil menghindari semua pelabuhan kecuali satu,  mereka  mengambil risiko melewati rute Portugal mengelilingi Tanjung  Harapan.  Namun, tanpa berhenti untuk mengisi perbekalan merupakan  strategi yang  mahal. Sewaktu mereka akhirnya mencapai Spanyol pada  tanggal 6  September 1522—tiga tahun sejak keberangkatan mereka—hanya 18  pria yang  sakit dan tidak berdaya yang bertahan hidup. Meskipun  demikian, tidak  dapat dibantah bahwa merekalah orang pertama yang  berlayar mengelilingi  bumi. Juan Sebastián de Elcano pun menjadi  pahlawan. Sungguh suatu hal  yang menakjubkan, muatan rempah Victoria  seberat 26 ton menutup ongkos  seluruh ekspedisi!
Ketika  satu kapal yang selamat, Victoria, kembali ke pelabuhan  setelah  menyelesaikan perjalanan mengelilingi dunia yang pertama kali,  hanya 18  orang laki-laki dari 237 laki-laki yang berada di kapal pada  awal  keberangkatan. Di antara yang selamat, terdapat dua orang Itali,   Antonio Pigafetta dan Martino de Judicibus. Martino de Judicibus (bahasa   Spanyol: Martín de Judicibus) adalan orang dari Genoa[1] yang  bertindak  sebagai Kepala Pelayan. Ia bekerja dengan Ferdinand Magellan  pada  perjalanan historisnya untuk menemukan rute barat ke Kepulauan   Rempah-rempah Indonesia. [2] Sejarah perjalanannya diabadikan dalam   pendaftaran nominatif pada Archivo General de Indias di Seville,   Spanyol. Nama keluarga ini disebut dengan patronimik Latin yang tepat,   yakni: "de Judicibus". Pada awalnya ia ditugaskan pada Caravel   Concepción, satu dari lima armada Spanyol milik Magellan. Martino de   Judicibus memulai ekspedisi ini dengan gelar kapten. (baca selengkapnya   dalam buku "Sejarah Kolonial Spanyol di Indonesia" oleh David DS   Lumoindong.
Sebelum  menguasai kepulauan Filipina pada 1543, Spanyol menjadikan pulau   Manado Tua sebagai tempat persinggahan untuk memperoleh air tawar. Dari   pulau tersebut kapal-kapal Spanyol memasuki daratan Sulawesi-Utara   melalui sungai Tondano. Hubungan musafir Spanyol dengan penduduk   pedalaman terjalin melalui barter ekonomi bermula di Uwuran (sekarang   kota Amurang) ditepi sungai Rano I Apo. Perdagangan barter berupa beras,   damar, madu dan hasil hutan lainnya dengan ikan dan garam.
Gudang  Kopi Manado dan Minahasa menjadi penting bagi Spanyol, karena   kesuburan tanahnya dan digunakan Spanyol untuk penanaman kofi yang   berasal dari Amerika-Selatan untuk dipasarkan ke daratan Cina. Untuk itu   di- bangun Manado sebagai menjadi pusat niaga bagi pedagang Cina yang   memasarkan kofi kedaratan Cina. Nama Manado dicantumkan dalam peta  dunia  oleh ahli peta dunia, Nicolas_Desliens‚ pada 1541. Manado juga  menjadi  daya tarik masyarakat Cina oleh kofi sebagai komoditi ekspor  masyarakat  pedalaman Manado dan Minahasa. Para pedagang Cina merintis  pengembangan  gudang kofi (kini seputar Pasar 45) yang kemudian menjadi  daerah pecinan  dan pemukiman. Para pendatang dari daratan Cina berbaur  dan  berasimilasi dengan masyarakat pedalaman hingga terbentuk  masyarakat  pluralistik di Manado dan Minahasa bersama turunan Spanyol,  Portugis dan  Belanda.
Kemunculan  nama Manado di Sulawesi Utara dengan berbagai kegiatan  niaga yang  dilakukan Spanyol menjadi daya tarik Portugis sejak  memapankan  posisinya di Ternate . Untuk itu Portugis melakukan  pendekatan mengirim  misi Katholik ke tanah Manado dan Minahasa pada 1563  dan mengembangkan  agama dan pendidikan Katholik. Lomba Adu Pengaruh di  Laut Sulawesi
Antara  Minahasa dengan Ternate ada dua pulau kecil bernama Mayu dan  Tafure.  Kemudian kedua pulau tadi dijadikan pelabuhan transit oleh  pelaut  Minahasa. Waktu itu terjadi persaingan Portugis dan Spanyol  dimana  Spanyol merebut kedua pulau tersebut. Pandey asal Tombulu yang  menjadi  raja di pulau itu lari dengan armada perahunya kembali ke  Minahasa,  tapi karena musim angin barat lalu terdampar di Gorontalo.  Anak lelaki  Pandey bernama Potangka melanjutkan perjalanan dan tiba di  Ratahan. Di  Ratahan, dia diangkat menjadi panglima perang karena dia  ahli menembak  meriam dan senapan Portugis untuk melawan penyerang dari  Mongondouw di  wilayah itu. Tahun 1563 diwilayah Ratahan dikenal orang  Ternate dengan  nama “Watasina” karena ketika diserang armada Kora-kora  Ternate untuk  menhalau Spanyol dari wilayah itu (buku “De Katholieken en  hare Missie”  tulisan A.J. Van Aernsbergen).
Tahun 1570 Portugis dan Spanyol bersekongkol membunuh raja Ternate sehinga membuat keributan besar di Ternate. Ketika itu banyak pedagang Islam Ternate dan Tidore lari ke Ratahan. Serangan bajak laut meningkat di Ratahan melalui Bentenan, bajak laut menggunakan budak-budak sebagai pendayung. Para budak tawanan bajak laut lari ke Ratahan ketika malam hari armada perahu bajak laut dirusak prajurit Ratahan – Pasan. Kesimpulan sementara yang dapat kita ambil dari kumpulan cerita ini adalah Penduduk asli wilayah ini adalah Touwuntu di wilayah dataran rendah sampai tepi pantai Toulumawak di pegunungan, mereka adalah keturunan Opok Soputan abad ke-tujuh. Nama Opo' Soputan ini muncul lagi sebagai kepala walak wilayah itu abad 16 dengan kepala walak kakak beradik Raliu dan Potangkuman. Penduduk wilayah ini abad 16 berasal dari penduduk asli dan para pendatang dari Tombulu, Tompakewa (Tontemboan), Tonsea, Ternate dan tawanan bajak laut mungkin dari Sangihe.
Tahun 1570 Portugis dan Spanyol bersekongkol membunuh raja Ternate sehinga membuat keributan besar di Ternate. Ketika itu banyak pedagang Islam Ternate dan Tidore lari ke Ratahan. Serangan bajak laut meningkat di Ratahan melalui Bentenan, bajak laut menggunakan budak-budak sebagai pendayung. Para budak tawanan bajak laut lari ke Ratahan ketika malam hari armada perahu bajak laut dirusak prajurit Ratahan – Pasan. Kesimpulan sementara yang dapat kita ambil dari kumpulan cerita ini adalah Penduduk asli wilayah ini adalah Touwuntu di wilayah dataran rendah sampai tepi pantai Toulumawak di pegunungan, mereka adalah keturunan Opok Soputan abad ke-tujuh. Nama Opo' Soputan ini muncul lagi sebagai kepala walak wilayah itu abad 16 dengan kepala walak kakak beradik Raliu dan Potangkuman. Penduduk wilayah ini abad 16 berasal dari penduduk asli dan para pendatang dari Tombulu, Tompakewa (Tontemboan), Tonsea, Ternate dan tawanan bajak laut mungkin dari Sangihe.
Perjuangan Minahasa Melawan Spanyol
Ratu  Oki berkisar pada tahun 1644 sampai 1683. Waktu itu, terjadi  perang  yang hebat antara anak suku Tombatu (juga biasa disebut Toundanow  atau  Tonsawang) dengan para orang-orang Spanyol. Perang itu dipicu oleh   ketidaksenangan anak suku Tombatu terhadap orang-orang Spanyol yang   ingin menguasai perdagangan terutama terhadap komoditi beras, yang kala   itu merupakan hasil bumi andalan warga Kali. Di samping itu kemarahan   juga diakibatkan oleh kejahatan orang-orang Spanyol terhadap warga   setempat, terutama kepada para perempuannya. Perang itu telah   mengakibatkan tewasnya 40 tentara Spanyol di Kali dan Batu (lokasi Batu   Lesung sekarang – red). Naasnya, di pihak anak suku Tombatu, telah   mengakibatkan tewasnya Panglima Monde bersama 9 orang tentaranya.   Panglima Monde tidak lain adalah suaminya Ratu Oki. Menurut yang   dikisahkan dalam makalah itu, Panglima Monde tewas setelah mati-matian   membela istrinya, Ratu Oki.Menurut P.A. Gosal, dkk., dalam masa   kekuasaan Ratu Oki, anak suku Toundanow (sebutan lain untuk anak suku   Tombatu atau Tonsawang) yang mendiami sekitar danau Bulilin hidup   sejahtera, aman dan tenteram. “Atas kebijaksanaan dan kearifannya   memimpin anak suku Toudanow maka Ratu Oki disahkan juga sebagai Tonaas   atau Balian. Selama kepemimpinnan Ratu Oki, Spanyol dan Belanda tidak   pernah menguasai atau menjajah anak Toundanow,”
Perang Minahasa lawan Spanyol
Para  pelaut awak kapal Spanyol berdiam di Minahasa dan bahkan membaur   dengan masyarakat. Mereka menikah dengan wanita-wanita Minahasa,   sehingga keturunan mereka menjadi bersaudara dengan warga pribumi.
Tahun  1643 pecah perang Minaesa Serikat melawan kerajaan Spanyol.  dalam  suatu peperangan di Tompaso, pasukan spanyol dibantu pasukan Raja   Loloda Mokoagouw II dipukul kalah, mundur oleh gabungan pasukan serikat   Minaesa, dikejar hingga dipantai tapi
Tahun  1694 dalam suatu peperangan di Tompaso, pasukan Raja Loloda  Mokoagouw  II dipukul kalah, mundur oleh gabungan pasukan serikat  Minahasa,  dikejar hingga ke pantai tapi dicegah dan ditengahi oleh  Residen V.O.C.  Herman Jansz Steynkuler. Pada tahun 1694 bulan September  tanggal 21,  diadakanlah kesepakatan damai, dan ditetapkan perbatasan  Minahasa  adalah sungai Poigar. Pasukan Serikat Minaesa yang berasal dari  Tompaso  menduduki Tompaso Baru, Rumoong menetap di Rumoong Bawah,  Kawangkoan  mendiami Kawangkoan bawah, dan lain sebagainya.
Pada  pasa pemerintahan kolonial Belanda maka daerah ini semula masih  otonom  tetapi lama kelamaan kelamaan kekuasaan para raja dikurangi  dengan  diangkatnya raja menjadi pejabat pemerintahan Belanda, sehingga  raja  tinggal menjadi pejabat wilayah setingkat 'camat'.
Tahun 1521 Spanyol Mulai Masuk perairan Indonesia
Awak  kapal Trinidad yang ditangkap oleh Portugal dan dipenjarakan  kemudian  dengan bantuan pelaut Minahasa dan Babontewu dari kerajaan  Manado  mereka dapat meloloskan diri. Ke 12 pelaut ini kemudian berdiam   dipedalaman Minahasa, ke Amurang terus ke Pontak, kemudian setelah   beberapa tahun mereka dapat melakukan kontak kembali dengan armada   Spanyol yang telah kembali ke Pilipina. 1522 Spanyol memulai kolonisasi   di Sulawesi Utara 1560 Spanyol mendirikan pos di Manado
Minahasa memegang peranan sebagai lumbung beras bagi Spanyol ketika melakukan usaha penguasaan total terhadap Filipina.
Pada  tahun 1550 Spanyol telah mendirikan benteng di Wenang dengan  cara  menipu Kepala Walak Lolong Lasut menggunakan kulit sapi dari  Benggala  India yang dibawa Portugis ke Minahasa. Tanah seluas kulit sapi  yang  dimaksud spanyol adalah tanah seluas tali yang dibuat dari kulit  sapi  itu. Spanyol kemudian menggunakan orang Mongodouw untuk menduduki   benteng Portugis di Amurang pada tahun 1550-an sehingga akhirnya Spanyol   dapat menduduki Minahasa. Dan Dotu Kepala Walak (Kepala Negara) Lolong   Lasut punya anak buah Tonaas Wuri' Muda.
Nama Kema dikaitkan dengan pembangunan pangkalan militer Spanyol ketika
Bartholomeo  de Soisa mendarat pada 1651 dan mendirikan pelabuhan di  daerah yang  disebutnya ‘La Quimas.’ Penduduk setempat mengenal daerah  ini dengan  nama ‘Maadon’ atau juga ‘Kawuudan.’ Letak benteng Spanyol  berada di  muara sungai Kema, yang disebut oleh Belanda, "Spanyaardsgat, "  atau  Liang Spanyol.
Dr.  J.G.F. Riedel menyebutkan bahwa armada Spanyol sudah mendarat di  Kema  tepat 100 tahun sebelumnya.Kema berkembang sebagai ibu negeri  Pakasaan  Tonsea sejak era pemerintahan Xaverius Dotulong, setelah   taranak-taranak Tonsea mulai meninggalkan negeri tua, yakni Tonsea Ure   dan mendirikan perkampungan- perkampungan baru. Surat Xaverius Dotulong   pada 3 Februrari 1770 kepada Gubernur VOC di Ternate mengungkapkan  bahwa  ayahnya, I. Runtukahu Lumanauw tinggal di Kema dan merintis  pembangunan  kota ini. Hal ini diperkuat oleh para Ukung di Manado yang  mengklaim  sebagai turunan dotu Bogi, putera sulung dari beberapa dotu  bersaudara  seperti juga dikemukakan Gubernur Ternate dalam surat  balasannya kepada  Xaverius Dotulong pada 1 November 1772.
Asal nama Kema
Misionaris  Belanda, Domine Jacobus Montanus dalam surat laporan  perjalanannya  pada 17 November 1675, menyebutkan bahwa nama Kema, yang  mengacu pada  istilah Spanyol, adalah nama pegunungan yang membentang  dari Utara ke  Selatan. Ia menulis bahwa kata ‘Kima’ berasal dari bahasa  Minahasa yang  artinya Keong. Sedangkan pengertian ‘Kema’ yang berasal  dari kata  Spanyol, ‘Quema’ yaitu, nyala, atau juga menyalakan.  Pengertian itu  dikaitkan dengan perbuatan pelaut Spanyol sering membuat  onar membakar  daerah itu. Gubernur Robertus Padtbrugge dalam memori  serah terima pada  31 Agustus 1682 menyebutkan tempat ini dengan sebutan  "Kemas of grote  Oesterbergen, " artinya adalah gunung-gunung besar
menyerupai Kerang besar. Sedangkan dalam kata Tonsea disebut ‘Tonseka,’ karena berada di wilayah Pakasaan Tonsea.
Hendrik  Berton dalam memori 3 Agustus 1767, melukiskan Kema selain  sebagai  pelabuhan untuk musim angin Barat, juga menjadi ibu negeri  Tonsea. Hal  ini terjadi akibat pertentangan antara Manado dengan Kema  oleh sengketa  sarang burung di pulau Lembeh. Pihak ukung-ukung di Manado  menuntut  hak sama dalam bagi hasil dengan ukung-ukung Kema. Waktu itu  Ukung Tua  Kema adalah Xaverius Dotulong.
Portugis dan Spanyol merupakan tumpuan kekuatan gereja Katholik Roma memperluas wilayah yang dilakukan kesultanan Ottoman di Mediterania pada abad ke-XV. Selain itu Portugis dan Spanyol juga tempat pengungsian pengusaha dan tenaga-tenaga terampil asal Konstantinopel ketika dikuasai kesultanan Ottoman dari Turki pada 1453. Pemukiman tersebut menyertakan alih pengetahuan ekonomi dan maritim di Eropa Selatan. Sejak itupun Portugis dan Spanyol menjadi adikuasa di Eropa. Alih pengetahuan diperoleh dari pendatang asal Konstantinopel yang memungkinkan bagi kedua negeri Hispanik itu melakukan perluasan wilayah-wilayah baru diluar daratan Eropa dan Mediterania. Sasaran utama adalah Asia-Timur dan Asia-Tenggara. Mulanya perluasan wilayah antara kedua negeri terbagi dalam perjanjian Tordisalles, tahun 1492.
Portugis kearah Timur sedangkan Spanyol ke Barat. Masa itu belum ada gambaran bahwa bumi itu bulat. Baru disadari ketika kapal-kapal layar kedua belah pihak bertemu di perairan Laut Sulawesi. Kenyataan ini juga menjadi penyebab terjadi proses reformasi gereja, karena tidak semua yang menjadi "fatwa" gereja adalah Undang-Undang, hingga citra kekuasaan Paus sebagai penguasa dan wakil Tuhan di bumi dan sistem pemerintahan absolut theokratis ambruk. Keruntuhan ini terjadi dengan munculnya gereja Protestan rintisan Martin Luther dan Calvin di Eropa yang kemudian menyebar pula ke berbagai koloni Eropa di Asia, Afrika dan Amerika.
Dari  kesepakatan Tordisalles itu, Portugis menelusuri dari pesisir  pantai  Afrika dan samudera Hindia. Sedangkan Spanyol menelusuri Samudera   Atlantik, benua Amerika Selatan dan melayari samudera Pasifik.   Pertemuan terjadi ketika kapal-kapal Spanyol pimpinan Ferdinand Maggelan   menelusuri Pasifik dan tiba di pulau Kawio, gugusan kepulauan Sangir   dan Talaud di Laut Sulawesi pada 1521. Untuk mencegah persaingan di   perairan Laut Sulawesi dan Maluku Utara, kedua belah pihak memperbarui   jalur lintas melalui perjanjian Saragosa pada tahun 1529. Perjanjian   tersebut membagi wilayah dengan melakukan batas garis tujuhbelas derajat   lintang timur di perairan Maluku Utara. Namun dalam perjanjian   tersebut,
Spanyol  merasa dirugikan karena tidak meraih lintas niaga dengan  gugusan  kepulauan penghasil rempah-rempah. Untuk itu mengirimkan  ekspedisi  menuju Pasifik Barat pada 1542. Pada bulan Februari tahun itu  lima  kapal Spanyol dengan 370 awak kapal pimpinan Ruy Lopez de  Villalobos  menuju gugusan Pasifik Barat dari Mexico . Tujuannya untuk  melakukan  perluasan wilayah dan sekaligus memperoleh konsesi perdagangan   rempah-rempah di Maluku Utara.
Dari  pelayaran ini Villalobos mendarat digugusan kepulauan Utara  disebut  Filipina, di ambil dari nama putera Raja Carlos V, yakni  Pangeran  Philip, ahli waris kerajaan Spanyol. Sekalipun Filipina tidak   menghasilkan rempah-rempah, tetapi kedatangan Spanyol digugusan   kepulauan tersebut menimbulkan protes keras dari Portugis. Alasannya   karena gugusan kepulauan itu berada di bagian Barat, di lingkungan   wilayahnya. Walau mengkonsentrasikan perhatiannya di Amerika-Tengah,   Spanyol tetap menghendaki konsesi niaga rempah-rempah Maluku-Utara yang   juga ingin didominasi Portugis. Tetapi Spanyol terdesak oleh Portugis   hingga harus mundur ke Filipina. Akibatnya Spanyol kehilangan pengaruh   di Sulawesi Utara yang sebelumnya menjadi kantong ekonomi dan menjalin   hubungan dengan masyarakat Minahasa.
Pengenalan kuliner asal Spanyol di Minahasa
Peperangan  di Filipina Selatan turut memengaruhi perekonomian  Spanyol. Penyebab  utama kekalahan Spanyol juga akibat aksi pemberontakan  pendayung yang  melayani kapal-kapal Spanyol. Sistem perkapalan Spanyol  bertumpu pada  pendayung yang umumnya terdiri dari budak-budak Spanyol.  Biasanya kapal  Spanyol dilayani sekitar 500 - 600 pendayung yang umumnya  diambil dari  penduduk wilayah yang dikuasai Spanyol. Umumnya  pemberontakan para  pendayung terjadi bila ransum makanan menipis dan  terlalu dibatasi  dalam pelayaran panjang, untuk mengatasinya Spanyol  menyebarkan  penanaman palawija termasuk aneka ragam cabai (rica), jahe  (goraka),  kunyit dll.
Kesemuanya di tanam pada setiap wilayah yang dikuasai untuk persediaan logistik makanan awak kapal dan ratusan pendayung.
Sejak  itu budaya makan "pidis" yang di ramu dengan berbagai bumbu  masak yang  diperkenalkan pelaut Spanyol menyebar pesat dan menjadi  kegemaran  masyarakat Minahasa.
Ada  pula yang menarik dari peninggalan kuliner Spanyol, yakni budaya   Panada. Kue ini juga asal dari penduduk Amerika-Latin yang di bawa oleh   Spanyol melalui lintasan Pasifik. Bedanya, adonan panada, di isi dengan   daging sapi ataupun domba, sedangkan panada khas Minahasa di isi  dengan  ikan.
Kota Kema merupakan pemukiman orang Spanyol, dimulai dari kalangan "pendayung" yang menetap dan tidak ingin kembali ke negeri leluhur mereka. Mereka menikahi perempuan-perempuan penduduk setempat dan hidup turun-temurun. Kema kemudian juga dikenal para musafir Jerman, Belanda dan Inggris. Mereka ini pun berbaur dan berasimilasi dengan penduduk setempat, sehingga di Kema terbentuk masyarakat pluralistik dan memperkaya Minahasa dengan budaya majemuk dan hidup berdampingan harmonis. Itulah sebabnya hingga masyarakat Minahasa tidak canggung dan mudah bergaul menghadapi orang-orang Barat.
Pergerakan Mengusir Penjajahan lawan Spanyol
Minahasa  juga pernah berperang dengan Spanyol yang dimulai tahun 1617  dan  berakhir tahun 1645. Perang ini dipicu oleh ketidakadilan Spanyol   terhadap orang-orang Minahasa, terutama dalam hal perdagangan beras,   sebagai komoditi utama waktu itu. Perang terbuka terjadi nanti pada   tahun 1644-1646. Akhir dari perang itu adalah kekalahan total Spanyol,   sehingga berhasil diusir oleh para waranei (ksatria-ksatria Minahasa).
Dampak Spanyol Bagi Ekonomi Indonesia Utara
Diplomasi  para pemimpin pemerintahan Walak mendekati Belanda berhasil  mengusir  Spanyol dari Minahasa. Namun konsekwensi yang harus dialami  adalah  rintisan jalur niaga laut di Pasifik hasil rintisan Spanyol sejak  abad  ke-17 terhenti dan memengaruhi perekonomian Sulawesi Utara. Sebab  jalur  niaga ini sangat bermanfaat bagi penyebaran komoditi eskpor ke   Pasifik. Sejak itupun pelabuhan Manado menjadi sepi dan tidak berkembang   yang turut memengaruhi pengembangan kawasan Indonesia bagian Timur   hingga Pasifik Barat Daya. Dilain pihak, pelabuhan Manado hanya menjadi   persinggahan jalur niaga dari Selatan (berpusat di Surabaya, Tanjung   Priok yang dibangun oleh Belanda sejak abad ke-XVIII) ke Asia-Timur   melalui lintasan Selat Makassar. Itupun hanya digunakan musiman saat   laut Cina Selatan tidak di landa gelombang ganas bagi kapal-kapal.   Sedangkan semua jalur niaga Asia-Timur dipusatkan melalui Laut Cina   Selatan, Selat Malaka, Samudera Hindia, Tanjung Harapan Atlantik-Utara   yang merupakan pusat perdagangan dunia.
Sebagai  akibatnya kegiatan hubungan ekonomi diseputar Laut Sulawesi  secara  langsung dengan dunia luar praktis terlantar. Karena penyaluran  semua  komoditi diseluruh gugusan nusantara melulu diatur oleh Batavia  yang  mengendalikan semua jaringan tata-niaga dibawah kebijakan satu  pintu.  Penekanan ini membawa derita berkepanjangan bagi kegiatan usaha   penduduk pedalaman Minahasa.
Kolonisasi VOC
Mulai tahun 1602 Belanda   secara perlahan-lahan menjadi penguasa wilayah yang kini adalah   Indonesia, dengan memanfaatkan perpecahan di antara kerajaan-kerajaan   kecil yang telah menggantikan Majapahit. Satu-satunya yang tidak   terpengaruh adalah Timor Portugis, yang tetap dikuasai Portugal hingga 1975 ketika berintegrasi menjadi provinsi Indonesia bernama Timor Timur.   Belanda menguasai Indonesia selama hampir 350 tahun, kecuali untuk   suatu masa pendek di mana sebagian kecil dari Indonesia dikuasai Britania setelah Perang Jawa Britania-Belanda dan masa penjajahan Jepang pada masa Perang Dunia II. Sewaktu menjajah Indonesia, Belanda mengembangkan Hindia-Belanda   menjadi salah satu kekuasaan kolonial terkaya di dunia. 350 tahun   penjajahan Belanda bagi sebagian orang adalah mitos belaka karena   wilayah Aceh baru ditaklukkan kemudian setelah Belanda mendekati   kebangkrutannya.
Pada  abad ke-17 dan 18 Hindia-Belanda tidak dikuasai secara langsung  oleh  pemerintah Belanda namun oleh perusahaan dagang bernama Perusahaan Hindia Timur Belanda (bahasa Belanda: Verenigde Oostindische Compagnie   atau VOC). VOC telah diberikan hak monopoli terhadap perdagangan dan   aktivitas kolonial di wilayah tersebut oleh Parlemen Belanda pada tahun 1602. Markasnya berada di Batavia, yang kini bernama Jakarta.
Tujuan utama VOC adalah mempertahankan monopolinya terhadap perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Hal ini dilakukan melalui penggunaan dan ancaman kekerasan terhadap penduduk di kepulauan-kepulauan penghasil rempah-rempah, dan terhadap orang-orang non-Belanda yang mencoba berdagang dengan para penduduk tersebut. Contohnya, ketika penduduk Kepulauan Banda terus menjual biji pala kepada pedagang Inggris, pasukan Belanda membunuh atau mendeportasi hampir seluruh populasi dan kemudian mempopulasikan pulau-pulau tersebut dengan pembantu-pembantu atau budak-budak yang bekerja di perkebunan pala.
VOC menjadi terlibat dalam  politik internal Jawa pada masa ini, dan  bertempur dalam beberapa  peperangan yang melibatkan pemimpin Mataram dan Banten.
Kolonisasi pemerintah Belanda
Setelah VOC jatuh bangkrut pada akhir abad ke-18 dan setelah kekuasaan Britania yang pendek di bawah Thomas Stamford Raffles, pemerintah Belanda mengambil alih kepemilikan VOC pada tahun 1816. Sebuah pemberontakan di Jawa berhasil ditumpas dalam Perang Diponegoro pada tahun 1825-1830. Setelah tahun 1830 sistem tanam paksa yang dikenal sebagai cultuurstelsel dalam bahasa Belanda   mulai diterapkan. Dalam sistem ini, para penduduk dipaksa menanam   hasil-hasil perkebunan yang menjadi permintaan pasar dunia pada saat   itu, seperti teh, kopi   dll. Hasil tanaman itu kemudian diekspor ke mancanegara. Sistem ini   membawa kekayaan yang besar kepada para pelaksananya - baik yang Belanda   maupun yang Indonesia. Sistem tanam paksa ini adalah monopoli   pemerintah dan dihapuskan pada masa yang lebih bebas setelah 1870.
Pada 1901 pihak Belanda mengadopsi apa yang mereka sebut Politik Etis (bahasa Belanda: Ethische Politiek), yang termasuk investasi yang lebih besar dalam pendidikan bagi orang-orang pribumi, dan sedikit perubahan politik. Di bawah gubernur-jendral J.B. van Heutsz   pemerintah Hindia-Belanda memperpanjang kekuasaan kolonial secara   langsung di sepanjang Hindia-Belanda, dan dengan itu mendirikan fondasi   bagi negara Indonesia saat ini.
Gerakan nasionalisme
Pada 1905 gerakan nasionalis yang pertama, Serikat Dagang Islam dibentuk dan kemudian diikuti pada tahun 1908 oleh gerakan nasionalis berikutnya, Budi Utomo.   Belanda merespon hal tersebut setelah Perang Dunia I dengan   langkah-langkah penindasan. Para pemimpin nasionalis berasal dari   kelompok kecil yang terdiri dari profesional muda dan pelajar, yang   beberapa di antaranya telah dididik di Belanda. Banyak dari mereka yang   dipenjara karena kegiatan politis, termasuk Presiden Indonesia yang   pertama, Soekarno.
Perang Dunia II
Pada Mei 1940, awal Perang Dunia II, Belanda diduduki oleh Nazi Jerman. Hindia-Belanda mengumumkan keadaan siaga dan di Juli mengalihkan ekspor untuk Jepang ke Amerika Serikat dan Britania. Negosiasi dengan Jepang yang bertujuan untuk mengamankan persediaan bahan bakar pesawat gagal di Juni 1941,   dan Jepang memulai penaklukan Asia Tenggara di bulan Desember tahun   itu. Di bulan yang sama, faksi dari Sumatra menerima bantuan Jepang   untuk mengadakan revolusi terhadap pemerintahan Belanda. Pasukan Belanda   yang terakhir dikalahkan Jepang pada Maret 1942
Pendudukan Jepang
Pada Juli 1942, Soekarno   menerima tawaran Jepang untuk mengadakan kampanye publik dan membentuk   pemerintahan yang juga dapat memberikan jawaban terhadap kebutuhan   militer Jepang. Soekarno, Mohammad Hatta,   dan para Kyai memperoleh penghormatan dari Kaisar Jepang pada tahun   1943. Tetapi, pengalaman dari penguasaan Jepang di Indonesia sangat   bervariasi, tergantung di mana seseorang hidup dan status sosial orang   tersebut. Bagi yang tinggal di daerah yang dianggap penting dalam   peperangan, mereka mengalami siksaan, terlibat perbudakan seks, penahanan sembarang dan hukuman mati, dan kejahatan perang lainnya. Orang Belanda dan campuran Indonesia-Belanda merupakan target sasaran dalam penguasaan Jepang.
Pada  Maret 1945 Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan   Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada pertemuan pertamanya di bulan Mei, Soepomo membicarakan integrasi nasional dan melawan individualisme perorangan; sementara itu Muhammad Yamin mengusulkan bahwa negara baru tersebut juga sekaligus mengklaim Sarawak, Sabah, Malaya, Portugis Timur, dan seluruh wilayah Hindia-Belanda sebelum perang.
Pada 9 Agustus 1945 Soekarno, Hatta dan Radjiman Widjodiningrat diterbangkan ke Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi.   Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang menuju kehancuran tetapi   Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus.
(Sumber dari http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar