Pages

Selasa, 27 September 2011

OPINI AUDIT BPK SEBAGAI INDIKATOR AKUNTABILITAS PEMERINTAH

Oleh: Andi
 A Financial statement audit is conducted to determine whether the financial statements (the information being verified) are stated in accordance with specified criteria (Arens, 2009). Alvin A. Arens bersama Randal J. Elder dan Mark S. Beasley, beserta kolega Indonesia mereka, Amir Abadi Jusuf, menyatakan bahwa audit atas laporan keuangan merupakan jasa profesional independen yang menitikberatkan pada apakah laporan keuangan atau informasi yang telah diverifikasi telah sesuai dengan kriteria-kriteria tertentu. Pada sebuah buku yang mereka tulis, Auditing and Assurance Services an Integrated Approach An Indonesian Approach, dinyatakan bahwa kriteria yang dimaksud tersebut adalah prinsip akuntansi yang diterima umum. Mengingat pada artikel ini, yang menjadi fokus adalah organisasi pemerintahan, maka prinsip akuntansi yang diterima umum tersebut merujuk pada Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP).

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 (UU 15/2004) tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara pada pasal 4 ayat 2 berbunyi “Pemeriksaan Keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan”. Pemeriksaan Keuangan yang dimaksud adalah pemeriksaan yang dilaksanakan oleh, untuk dan atas nama Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) dalam rangka memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, yang turut meliputi pendapatan dan belanja pemerintah pusat maupun daerah. Nantinya, pada laporan hasil pemeriksaan keuangan akan dimuat opini atas laporan keuangan tersebut. Opini adalah pernyataan profesional sebagai kesimpulan pemeriksa mengenai tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan. Pada penjelasan pasal 16 UU 15/2004 juga dijelaskan bahwa, opini merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang didasarkan pada kriteria. Kriteria yang dimaksud adalah kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan, kecukupan pengungkapan (adequate disclosures), kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan efektivitas sistem pengendalian intern.

Opini Audit
Pada buku-buku teori auditing yang dapat dengan mudah ditemukan pada fakultas ekonomi, kita mengetahui bahwa pengelompokkan opini yang berlaku secara umum (baik di sektor privat maupun publik) dapat dibagi dalam 4 jenis, yaitu: Wajar Tanpa Pengecualian (Unqualified Opinion), Wajar Dengan Pengecualian (Qualified Opinion), Tidak Wajar (Adverse Opinion), dan Menolak Memberikan Pendapat (Disclaimer of Opinion). Secara tersirat urut-urutan pada klasifikasi opini di atas dapat menjadi refleksi stratafikasi kualitas kewajaran atas laporan keuangan. Hal ini senada dengan penjelasan pasal 16 UU 15/2004, terdapat 4 jenis opini yang dapat diberikan oleh pemeriksa, sama seperti di atas. Namun, di beberapa buku referensi, seperti Auditing Jilid I karya Dan M. Guy, Alderman, dan Winters, terdapat 1 jenis opini tambahan yaitu opini Wajar Tanpa Pengecualian dengan Bahasa (Paragraf) Penjelasan (Unqualified Opinion Report with Explanatory Language). Penempatan urutan opini tambahan ini disisipkan di antara opini Wajar Tanpa Pengecualian dengan opini Wajar Dengan Pengecualian.

Opini merupakan keluaran dari sebuah proses pemeriksaan laporan keuangan. Opini oleh auditor independen digunakan oleh para pemanggu kepentingan (stakeholders) untuk mendapatkan tingkat kepercayaan atas sebuah laporan keuangan yang disajikan. Opini dengan kualitas keyakinan tertinggi tentunya akan meningkatkan kepercayaan para pemanggu kepentingan atas informasi yang terdapat pada laporan keuangan tersebut. Dalam konteks pemerintahan, opini yang diberikan atas laporan keuangan pemerintah (pusat dan daerah) akan mempengaruhi kepercayaan anggota dewan perwakilan, warga di lingkungan pendidikan, praktisi berbagai bidang profesi, maupun masyarakat secara umum, atas kewajaran informasi yang disajikan pada laporan keuangan pemerintah tersebut.

Akuntabilitas Pemerintah
Pada masa-masa awal reformasi, Pemerintah Republik Indonesia bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melahirkan sebuah undang-undang yang menjadi salah satu tonggak reformasi tata kelola pemerintahan, yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 (UU 28/1999) tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Penyelenggara Negara yang bersih merupakan penyelenggara negara yang menaati asas-asas umum dalam penyelenggaraan negara sehingga bebas dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya. UU 28/1999 yang disahkan oleh Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie pada tanggal 19 Mei 1999 tersebut, juga merinci asas-asas umum yang dimaksud pada pasal 1 ayat 2. Asas-asas umum penyelenggaraan negara meliputi asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas,  dan asas akuntabilitas. Keseluruhan asas tersebut tentunya memiliki porsi dan andil masing-masing dalam membentuk penyelenggaran negara yang bersih, termasuk asas yang disebut terakhir, asas akuntabilitas.

Pada penjelasan undang-undang tersebut, asas akuntabilitas didefinisikan sebagai asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemerintah baik pusat maupun daerah wajib mempertanggungjawabkan seluruh kegiatan penyelenggaraan negara, termasuk kegiatan-kegiatan yang terkait pengelolaan keuangan negara/daerah.

Sebagai wujud pertanggungjawaban pemerintah dalam pengelolaan keuangan pemerintah, penting bagi pimpinan organinasi (entitas) pemerintah untuk membuat laporan keuangan pemerintah. Sehingga, Presiden/Gubernur/Bupati/Walikota, sebagaimana pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,  diamanatkan untuk menyampaikan rancangan undang-undang/peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN)/Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) kepada DPR/DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPK RI, selambat-lambatnya 6 bulan setelah tahun anggaran berakhir.

Opini Sebagai Indikator Akuntabilitas
Dewan perwakilan maupun masyarakat tentu memerlukan keyakinan atas laporan keuangan yang disajikan pemerintah. Para pemangku kepentingan tersebut memerlukan pendapat dari orang/lembaga yang berkompeten untuk menguji kewajaran atas laporan keuangan yang disajikan oleh pemerintah. Sehingga, keyakinan atas laporan keuangan tersebut dapat diperoleh. Oleh karena itu, kebutuhan atas aktivitas audit terhadap laporan keuangan yang disajikan oleh pemerintah menjadi sebuah keniscayaan. BPK RI sebagai satu-satu instansi pemeriksa ektern pemerintah, bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Melalui sebuah mekanisme yang bernama pemeriksaan keuangan, BPK RI memberikan sebuah hasil audit/atestasi berwujud opini.

Opini terbagi dalam beberapa jenis seperti yang dijelaskan pada awal-awal tulisan ini. Opini BPK RI sejatinya dapat menjadi tolak ukur (indikator) untuk menilai akuntabilitas sebuah entitas pemerintah. Opini BPK RI, baik dari sisi akademis dan aplikasi di lapangan, dapat menaikkan atau menurunkan tingkat kepercayaan pemangku kepentingan atas pelaporan yang disajikan oleh pihak yang diaudit (auditan/auditee), dalam hal ini entitas pemerintah. Opini yang menyatakan bahwa laporan keuangan pemerintah adalah wajar tanpa pengecualian, maka pemanggu kepentingan akan memperoleh tingkat keyakinan yang lebih tinggi untuk mempercayai informasi yang tercantum dalam laporan tersebut. Daripada, terhadap laporan keuangan pemerintah yang diberikan opini tidak wajar. Kepercayaan pemanggu kepentingan menjadi sangat berkurang atau bahkan hilang terhadap laporan keuangan yang disajikan oleh pihak yang diaudit tersebut.
Berdasarkan data Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I (IHPS) 2010 yang dirilis pada website resmi BPK RI (http://www.bpk.go.id), diketahui bahwa opini yang diberikan kepada BPK RI kepada 14 (empat belas) entitas pelaporan pemerintah daerah di lingkungan Kalimantan Tengah untuk Tahun Anggaran 2009 didominasi oleh opini ‘tidak wajar’. Setidaknya terdapat 12 (dua belas) laporan keuangan entitas pelaporan pemerintah daerah dinyatakan opini ‘tidak wajar’. Kondisi ini menggambarkan bahwa pemangku kepentingan di Kalimantan Tengah mengalami kesulitan yang tinggi untuk meyakini kewajaran atas 85,71% entitas pelaporan pemerintah daerah. Kepercayaan anggota dewan dan masyarakat sebagai pemangku kepentingan akan relatif berkurang terhadap entitas-entitas pelaporan yang mendapat opini ‘tidak wajar’ oleh BPK RI. Kondisi di atas akan berbanding lurus terhadap akuntabilitas yang dimiliki oleh pemerintah daerah tersebut. Menurunnya kualitas akuntabilitas yang dimiliki oleh sebuah entitas pemerintah dikhawatirkan akan menghambat terwujudnya penyelenggaran negara yang bersih sebagaimana yang diharapkan oleh UU 28/1999.

Sebagai salah satu pemangku kepentingan, yaitu sebagai warga yang berdomisili di Kalimantan Tengah, tentunya sangat berharap entitas-entitas pemerintah daerah dapat melakukan aksi-aksi dalam upaya memperbaiki pengelolaan keuangan pemerintah daerah, baik dari segi sistem maupun personil yang dilibatkan. Sehingga, diharapkan dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan pemerintah daerah tersebut dan mendapatkan opini yang lebih baik dari tahun anggaran sebelumnya. Sehingga, akuntabilitas pemerintah daerah tersebut meningkat seiring perbaikan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan pemerintah daerah. Mungkin ada baiknya, entitas-entitas pelaporan pemerintah daerah di Kalimantan Tengah belajar kepada Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Katingan yang di tahun itu, mendapat opini ‘wajar dengan pengecualian’.

Artikel ini adalah pendapat pribadi bukan mewakili pendapat instansi

Diatas merupakan artikel saya yang dimuat di rubrik opini Kalteng Pos tanggal 15 Mei 201
Kliping koran dapat diunduh disini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar