Pages

Jumat, 29 Agustus 2014

Perikatan Dunia dan Akhirat


Adakah ikatan sekuat pernikahan? Tali temalinya bersimpul pada relung-relung hati. Meskipun seutas, namun kuat hingga tak lepas.
Adakah ikatan sekuat pernikahan? Atas dua insan yang sebelumnya saling tak mengenal? Bukankah kita hanya bertemu dan lantas dipersatukan? Oleh Nya, yang berkuasa atas segala.
Cerita lama tentu sudah berlalu. Aku bukanlah sempurna. Karena cacat dalam sikap dan kata adalah niscaya. Namun, bukankah kita saling menyampul aib yang menganga? Iya! Yang terus terbuka dan menganga. Lantas jika bukan suami dan istri yang menutupnya, siapa pula?
Tulung rusuk ini akan selalu bengkok, begitu kata kaum alim ulama. Kaum berilmu akhirat dan dunia. Bengkok bukanlah untuk dibiarkan. Tapi untuk diluruskan perlahan.
Ada sebuah mawar yang kini tak harum lagi. Warnanya merah, namun tak secerah tempo hari. Apakah setiap kita akan langsung pergi berlari? Jika hanya luka sedikit diujung jari, karena tersengat mawar berduri. Aduhai! Dia memang tak persis seperti dulu lagi. Kasihnya kini terbagi, bersama seorang bayi. Wewangian syurga dunia yang nyata dibumi. Pewaris harta, sifat, fisik, dan intelengensi. Bahkan, pelita setelah kau mati.
Ada seorang gadis dan seorang bujang yang hingga kini masih melajang. Mereka jumlahnya banyak, mereka tak sendirian. Ingin mengakhiri penantian yang berkepanjangan. Namun, belum menemukan apa yang dinantikan.
Bila sang kekasih telah dekat berhadap-hadapan. Hasrat dihati ingin sekali, segera disahkan. Bersandingan mesra dipelaminan. Namun, adat dan istiadat dengan gagah berani menjadi hambatan.
Bukankah pernikahan adalah sesuatu yang baik untuk disegerakan?
Ah, sudahlah! Marilah kita berhenti berpura-pura bermain lakon dalam komunitas. Memenuhi janji keluarga besar yang dianggap pantas. Menyuapi mereka dengan segala upacara mubazir, hingga mereka puas. Padahal ini adalah hal mudah saja. Namun, dipersulit sehingga banyak yang mundur sebelum maju. Yang mengurungkan amal, sebelum berniat.
Perikatan ini menjadi sangat menakutkan. Perikatan ini menjadi sangat mahal. Hanya untuk memenuhi adat, untuk berpantas-pantas. Kami takut, si gadis dan lajang ambil jalan pintas. Hingga semua berlalu, orang pun diam bisu. Diam-diam, pura-pura tak tahu. Mereka berkata “Ah! Ini kan sudah akhir zaman, biasa sajalah itu”. Padahal, sebelumnya mereka fasih bicara adat istiadat yang melelahkan. Syarat-syarat adat itu membungkukkan tulang punggung anak muda yang ingin mempersunting gadisnya, dengan harta seadanya.
Dengan segala susah yang telah dilewati, tentu pernikahan selayaknya tidak mudah untuk ditinggalkan. Kembali pulang dan luruskanlah jalan yang melengkung tak karuan. Dengan kata lembut yang menyentuh perasaan. Semoga tak berlebihan. Karena berlebih maupun kurang dalam hal ini, memang tak mengapa. Maafkan saja. Sudahlah, maafkan saja. Pulang selalu menjadi kata yang terindah. Pulanglah. Itu lebih dari cukup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar